hatiku di 17 September 1989
Hari ini juga aku senang. Karena biasanya, jam 3 sore begini laki-laki setengah baya kami sudah di rumah, dan itu artinya kebebasanku untuk menonton TV atau main dengan teman-teman tetangga rumahku akan sedikit terhenti. Laki-laki bertubuh kecil tegap itu bak seorang pak polisi yang selalu mengatur jalannya lalu lintas kegiatan di rumahku. Seisi rumah sangat segan pada beliau. Tapi hormat penuh juga. Hari ini nampaknya Papi pulang kerja agak lebih sore dari biasanya. Kok beliau lupa ya, tadi pagi tidak mengucapkan SELAMAT ULANG TAHUN padaku… Tapi tak apalah…! Urusannya banyak. Bukan hanya mengingat satu-satu hari ulang tahun anaknya yang lima orang itu.
KADO BUAT MAMI DAN PAPI
Kado buat aku dari Mami sudah ada.
Sampulnya putih – tanda kepolosan yang masih begitu lekat denganku.
Lembar-lembarnya merah muda, biru, dan kuning pupus – tanda keperawananku yang sebentar lagi akan datang.
Berkunci – tanda kerahasiaanku yang akan terjamin.
Tapi dari Papi belum ada.
Raut mukanya saja tidak enak dibaca.
Masalah apa lagi yang menghampiri, Papiku sayang ?
Sini, ngobrol sama aku. Nanti aku buat puisi buat Papi.
Supaya Papi bisa senyum lagi sama aku.
Dan ulang tahunku akan Papi ingat lagi, bahwa jatuhnya adalah di hari ini...
Aku tahu, masalah Papi dan Mami sama banyaknya.
Tapi kadang berbeda isinya.
Ngomong-ngomong, puisi ini buat kalian berdua ya.
Dibagi2 deh… seperti kalian membagi suka dan derita dari kami.
Anak-anak kalian yang berbeda, tapi satu tujuan;
KITA SEMUA SAYANG SAMA MAMI DAN PAPI.
Inget terus ya……!!!
Note : Pap, masih ada besok lusa kok untuk aku mendengar kalimat itu. Santai aja Pap! Aku bisa sabar kok, seperti Papi sabar menunggu kelahiranku dulu……………